Rabu, 05 Maret 2008

REVITALISASI TASAMUH DALAM KELUARGA

(Upaya Pembinaan Hidup Damai)

Oleh: Prof. Dr. H. M. Nasir Budiman, MA

A. PENDAHULUAN

Sebagai makhluk social, seorang anak manusia tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungan & interaksinya dengan manusia lain. Awal dari kehidupannya, sangat
tergantung sekali kepada orang lain terutama kepada ibu. Mulai dari pemenuhan kebutuhan makanan (ASI & lain-lain), pakaian, rasa aman dari gangguan lingkungan dan lain sebagainya. Apabila ibu disibukkan oleh suatu aktivitas yang sedikit merenggang dengan anaknya, maka peran ibu untuk sementara digantikan oleh orang lain seperti nenek, kakak atau ayah (orang-rang dekat dalam keluarga). Singkatnya, dalam kondisi anak manusia yang lemah tersebut sangat membutuhkan curahan cinta, kasih sayang, dukungan dan bantuan dari ibu dan orang-orang di sekitarnya.



Rasa cinta ibu & orang-orang dekat di sekitar kita yang menjadi harapan tersebut, secara sunnatullah mulai menyatu dengan fitrah seorang bayi. Dengan kata lain, sejak bayi sebenarnya rasa cinta itu sudah mulai tumbuh. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya keinginan untuk dicintai & disayangi (atau rasa cinta itu masih terbalik, yaitu butuh dicintai dan disayangi).

Begitu pula reaksi yang nampak seragam pada anak manusia dalam menyikapi situasi dan kondisi adalah dengan tertawa dan menangis. Artinya, tertawa dan menangis merupakan dua bahasa yang sama di manapun bayi di lahirkan di atas permukaan ini. Apabila sang bayi telah memperoleh kenyamanan dari kasih sayang/ cinta ibu dan orang-orang dekatnya, maka bahasa yang diungkapkan adalah dengan tertawa. Sebaliknya apabila bayi merasa tidak nyaman dengan suatu situasi dan kondisi, maka akan mengucapkan bahasa dengan menangis. Artinya, menangis dan tertawa pada bayi merupakan tanda bahwa bayi tersebut sudah memiliki keinginan akan kenyamanan, keamanan & keenakan serta sebaliknya.

Sejalan dengan perkembangan usia, seorang anak yang sangat butuh disayangi oleh Ibu & orang-orang dekat disekelilingnya, mulai mengembangkan suatu pola pribadi yang sebut dengan EGO. Sehingga seorang anak manusia mulai memperlihatkan rasa ingin memiliki dengan identitas ke-aku-annya. Tidak jarang seorang anak sering menyebutkan: Ibuku/saya/adek, ayahku/saya/adek, mobilku/saya/adek dan lain-lain. Lebih jauh dari itu, seorang balita sering mempertahankan hak miliknya tanpa toleransi atau berlebihan dengan label “ini punyaku, ini rumahku dan lain-lain”. Namun, di balik perkembangan ke-aku-an tersebut, tidak jarang juga fitrah kemanusiaan itu muncul. Sepotong kue, dengan spontan dibagi-bagikan kepada teman-temannya. Bahkan permen yang sudah berada dalam mulut dengan penuh keikhlasan dikeluarkan kembali untuk dibagikan kepada temannya. Saling tarik- menarik dalam hal perkembangan potensi dimensi social dengan dimensi individual terus berlanjut dalam diri anak manusia seiring dengan perkembangan usia & lingkungan di mana dibesarkannya.

Perkembangan kedua potensi tersebut akan membentuk pribadi dan karakter seseorang anak, apakah pribadi yang dominan social yang disebut dengan kepribadian ekstroversi (mengarah ke luar diri) atau individualnya yang disebut dengan introversi (yang mengarah ke dalam diri). Perkembangan ini sangat tergantung dari pola atau pendekatan yang diterapkan oleh orangtua (keluarga) & lingkungan di sekitarnya. Apabila orangtua, keluarga atau lingkungannya cenderung sangat kaku dan otoriter, maka potensi individualis – introversi akan sangat subur untuk berkembang dengan berbagai sifat-sifatnya. Potensi individualis & hanya ingin menang/ enak sendiri juga dapat berkembang dengan pola keluarga & lingkungan yang serba boleh (tanpa aturan atau norma yang mengarahkan perilaku anak). Hanya dengan pola moderat atau demokratis seorang anak besar kemungkinan dapat diarahkan kepada perkembangan yang wajar. Anak diberikan kebebasan dalam mengekspresikan keinginannya, tetapi tetap adanya kontrol dan arahan dari orangtua atau orang-orang di sekitarnya yang sesuai dengan norma-norma yang ada. Arahan ini diharapkan akan melahirkan pribadi yang seimbang antara social – ekstroversi dan individual – introversi.

Sebagai individu yang secara fisik sudah dewasa, dapat merasakan apakah kepribadian kita dominan ekstroversi atau introversi? Coba kita rasakan dengan jujur bagaimana perasaan kita di saat orang lain berbeda dengan kita? Perbedaan boleh jadi dalam masalah cara pandang, gaya hidup, cara berbicara, jenis kelamin, bahasa, suku, agama asal daerah dan lain sebagainya. Bagaimana kita mempersepsikan semua perbedaan tersebut, sangat dipengaruhi oleh model kepribadian kita. Sehingga kita memilih pro (mendekat) atau kontra (menjauh) dengan objek yang kita persepsikan berbeda tersebut. Apabila kita dengan mudah memilih sikap simpati/pro dengan orang tersebut atas pertimbangan yang rasional, maka dapat disimpulkan untuk sementara bahwa kita mempunyai pola sikap yang mampu berubah karena dimensi ekstraversi lebih dominan. Tetapi, jika sulit mendekat dan mengambil sikap antipati/ kontra, karena persepsinya sangat subjektif/ tidak rasional serta tetap bias oleh kepribadiannnya yang kaku, maka yang dominan adalah potensi introversinya.

Dominannya salah satu tipe dari kepribadian tersebut merupakan suatu hal yang normal dan menjadi cirri khas setiap individu. Yang menjadi tidak normal lagi apabila dominasi salah satu tipe itu sangat ekstrim (terlalu ekstraversi atau terlalu introversi). Namun, yang menjadi objek telaah kita adalah kepribadian yang introversi, karena tipe kepribadian ini cenderung sulit melakukan adaptasi dengan lingkungan sosialnya.

B. Pola Asuh Orangtua dan Kepribadian Anak

Sebagai mana yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan bahwa pola asuh orangtua yang otoriter akan berpotensi memiliki kepribadian yang introversi pada anak. Karena pola asuh atau gaya otoriter orangtua dalam berinteraksi dengan anak sering muncul seperti ciri di bawah ini:

1. Rendahnya persetujuan terhadap keinginan anak serta diikuti oleh tingginya (berlebihannya) kontrol terhadap anak. Apabila anak mempunyai suatu gagasan atau keinginan, sangat sulit mendapatkan persetujuan. Bahkan pengontrolan secara langsung cukup intensif dilakukan tanpa sepengetahuan anak.

2. Suka menghukum secara fisik. Apabila anak melakukan sedikit kekeliruan, maka orangtua yang mempunyai pola/ gaya asuh otoriter ini senantiasa memberikan hukuman yang cenderung berlebihan, bahkan tidak jarang dengan hukuman fisik.

3. Bersikap instruksi, mengharuskan, memerintah & melakukan sesuatu tanpa kompromi. Apabila memerintah, memberi instruksi, selalu dengan kata-kata “harus” dan tidak boleh mengajukan alternatif apa lagi mengajukan keberatan.

4. Bersikap kaku (keras). Orangtua ini biasanya sulit untuk bersikap fleksibel. Sulit melakukan penafsiran di balik realita/ kenyataan yang ada waktu itu. Biasanya tetap bersikukuh dengan aturan yang telah tertulis, meskipun dapat dirobah sesuai kondisi dan situasi.

5. Cenderung emosional dan bersikap menolak. Apabila sesuatu yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan, maka akan cepat sekali bertindak secara emosional sehingga dalam bertindak tidak memakai logika dan rasio lagi. Begitu juga apabila menolak, tanpa ada alasan yang dapat diterima oleh akal sehat.

Dampak negative dari pola asuh orang tua yang otoriter tersebut (sebagaimana telah disebutkan di atas) berpotensi membentuk pola kepribadian anak yang bertipe introversi (berorientasi ke dalam) dengan ciri-ciri:

1. Mudah tersinggung. Akibat tekanan batin yang dialami oleh anak, cenderung sensitive/peka terhadap sesuatu ransangan dari luar terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat agresif (marah).

2. Penakut dan menarik diri dari lingkungan social. Tekanan otoritas orangtua membuat anak merasa minder/rendah diri. Sehingga sosok yang ciri-cirinya cenderung sama dengan otoritas orangtua juga membuat anak tersebut minder. Sehingga dampak dari keminderan ini anak akan menarik diri dari lingkungan sosialnya.

3. Pemurung, merasa tidak bahagia. Keinginan yang selalu tidak terekspresikan membuat anak tertekan sehingga merasa kurang bahagia. Perasaan kurang bahagia ini menampakkan perilaku kurang semangat dan cenderung murung.

4. Mudah terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat provokatif. Akibat sensitifitas/kepekaan yang tinggi terhadap suatu rangsangan yang irrasional, maka anak ini sangat mudah depengaruhi oleh hal-hal yang profokatif.

5. Mudah stress & terganggunya kestabilan emosi. Kelelahan akibat tekanan batin yang senantiasa menderanya, anak kadangkala mengalami gangguan ketabilan hormonal di dalam tubuh. Hal ini juga berakibat kepada daya tahan terhadap tekanan/stressor yang melemah. Jika kondisi anak sudah sampai pada tahap ini, bila menghadapi permasalahan/ketegangan (stres) yang relatif ringan, mudah sekali kehilangan kestabilan.

6. Tidak mempunyai arah masa depan yang jelas, akibat penekanan dan tekanan yang berlebihan. Tekanan yang berlebihan akan membuat miskinnya inovasi (daya untuk berubah ke arah yang lebih baik) dan kreatifitas (kemampuan menciptakan sesuatu).

7. Tidak bersahabat & mudah curiga. Orang lain sering dianggap melihatnya dari sisi negatif. Karena biasanya dikuntit dan dinterogasi yang kadangkala dituntut untuk membenarkan sesuatu yang sudah dicurigai. Seringnya ditakut-takuti dengan sesuatu yang irrasional, membuat anak menjadi kurang bersahabat dengan yang dicurigai tersebut.

Erich Fromm (1964) mengatakan bahwa sehat tidaknya mental generasi muda di hari yang akan datang sangat tergantung pada tiga hal, salah satunya adalah kehidupan social budaya setempat. Beliau mengatakan bahwa masyarakat yang sakit akan melahirkan generasi yang sakit pula. Masyarakat yang otoriter juga akan melahirkan generasi yang otoriter.

Dari pendapat Erich Fromm tersebut dapat dipahami bahwa jika pada suatu masyarakat, kaum, suku atau daerah pernah terjadi hubungan yang kurang harmonis di masa lalu dengan masyarakat lainnya, maka besar kemungkinan akan terwarisi kepada generasi berikutnya.

Dalam kasus di Aceh, Belanda mengguna politik adu domba (devide et empera) ketika menjajah Indonesia, maka image negatif terhadap orang Aceh sebagai orang yang suka minum darah. Hal ini dipropagandakan kepada anak suku bangsa di seluruh nusantara ini. Begitu pula orang Batak dibuat image suka makan orang. Sehingga antara orang Aceh dan Batak diadu domba yang disertai dengan image negatifnya masing-masing.
Image negatif itu sampai sekarang masih dikembangkan oleh kedua suku tersebut. Sehingga apabila seseorang tersebut berdarah Batak pasti terngiang sifat-sifat sertaannya seperti kasar, kotor, suara besar dan terakhir makan orang. Begitu juga apabila orang Batak mendengar serta mempersepsikan sesuatu yang negatif terhadap orang Aceh. Maka, image yang sudah membudaya di masyarakat ini merupakan sesuatu yang tidak sehat, sehingga secara turun temurun terwarisi kepada generasi selanjutnya, yang mengakibatkan generasi tersebut juga berakibat kurang bahkan tidak sehat. Tentunya cepat tidaknya terpengaruh oleh isu-isu yang irrasional ini adalah mereka yang mempunyai tipe introversi-nya yang dominan. Namun, bagi mereka yang tipe ekstroversi-nya lebih dominan tidak serta merta menerima informasi yang diwarisi oleh masyarakatnya tersebut. Mereka terlebih dahulu melakukan kritisi, evaluasi dan pertimbangan yang rasional dengan didukung oleh fakta dan data yang tersedia.
Adorno (1950) meneliti tentang sikap otoriter Hitler yang membuat rakyat Jerman juga otoriter akibat dukungan otoritas kekuasaan saat itu. Anti etnis Yahudi yang didengung-dengungkan oleh Pemerintahan NAZI waktu itu, membuat pola fikir dan persepsi rakyat Jerman berubah. Sehingga membunuh orang Yahudi merupakan suatu hal yang wajar dan terpuji. Legalitas atas kekejaman yang mengorbankan puluhan ribu nyawa Yahudi tidak ada yang menentangnya. Hasil penelitian Adorno tersebut, diperoleh beberapa cirri otoriternya rakyat Jerman akibat bias dari politik NAZI pada waktu itu, yaitu:

1. Konvensional, yaitu ketaatan yang kaku terhadap adat kebiasaan atau nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat serta sangat setuju dan taat terhadap kebudayaannya.

2. Ketundukan kepada otoritas secara berlebihan. Kepatuhan dan ketundukan kepada otoritas (atasan, partai politik, organisasi atau kelompoknya) sangat menonjol. Hal ini ditandai tidak setuju apabila atasan atau otoritas yang diagungkannya dikritik oleh orang lain. Meskipun yang bersangkutan tahu bahwa pemimpin/atasannya atau kelompoknya keliru atau salah, juga tidak mampu dan mau memberi ktirtikan. Hal ini diperkuat oleh adanya sikap ketergantungan yang tinggi kepada otoritas tersebut.

3. Agresifitas Otoritas, yaitu kecenderungan yang tinggi mewaspadai, menyalahkan, menolak dan menghukum seseorang yang menentang nilai konvensional. Agresifitas ini juga merupakan rasa frustasi yang dialihkan dari kekangan otoritas yang sangat kaku tersebut terhadap objek yang menentang nilai-nilai konvensional tersebut.

4. Anti-Intrasepsi, yaitu suka kepada hal-hal yang bersifat konkrit, pasti, nyata dan anti terhadap hal-hal yang bersifat subjektif, pertimbangan perasaan yang didominasi oleh fantasi, spekulasi, aspirasi-aspirasi imajinasi dan pandangan subjektif manusia lainnya.

5. Mudah terpengaruh oleh hal-hal tahayul & steriotip. Yaitu individu yang sangat dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat tahayul mengenai nasib seseorang. Juga pikirannya cenderung dipengaruhi oleh kategorisasi yang kaku dengan berbagai steriotip, prasangka & diskriminasi. Sehingga dalam menila seseorang cenderung melihat dari asal daerah, suku dan lain-lainnya.

6. Identifikasi kepada Strata & figure-figur penguasa. Adalah kesenangan pada dimensi-dimensi kedudukan yang berstrata, suka mengidentifikasikan dirinya kepada figur-figur yang berkuasa, sangat kuat mempertahankan attribut kelompok, konvensional serta memamerkan kekuatan dan ketangguhan. Cirri-cirinya yang lain adalah suka memakai atribut kelompok, partai, dan lain sebagainya. Begitu pula amat sulit mengikuti aturan kalau sekiranya bukan atasannya yang langsung menyampaikannya.

7. Destruktif & suka Menprofokasi. yaitu permusuhan yang digeneralisasikan dan suka
menfitnah orang lain. Permusuhan ini mulai dari yang rendah sampai kepada yang paling tinggi. Yang rendah seperti mengejek kelompok/ fihak lain, dan pada dataran tinggi sampai menyerang kelompok tersebut. Selain mengejek fihak yang tidak disukai tersebut juga membuat isu-isu yang dapat memanaskan situasi sehingga dapat memprovokasi orang lain.

8. Proyeksi, yaitu kecenderungan mempercayai pikiran-pikiran yang tidak masuk akal dan memindahkan pemikirannya kepada objek/orang lain atau kepada dunia luar terhadap impuls-impuls emosional yang tidak disadari. Sehingga tidak jarang orang otoriter ini senantiasa menyalahkan orang lain (terutama kelompok yang tidak disukainya) atas kegagalan yang dialaminya.
Sedikitnya delapan ciri-ciri ini ada kepada orang yang bertipe kepribadian otoriter akibat budaya dan lingkungannya mendidik untuk berperilaku sedemikian.

C. Sikap Tasamuh Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam

Masyarakat Nanggro Aceh Darussalam (NAD) mempunyai adat istiadat dan budaya yang corak warnanya dihiasi oleh nilai-nilai Islamiyah. Hal ini sudah tertanam di kalangan masyarakat Aceh sejak dahulu kala. Semboyan “adat ngeun hukom, lagee zaat ngeun sifeut” merupakan bukti betapa dekatnya adat istiadat Aceh dengan ajaran Islam. Sehingga dalam ritual ibadah keseharian sulit sudah dibedakan mana yang ibadah murni dan mana ibadah yang sudah dipoles dengan budaya. Begitu pula dalam acara ritual budaya, sering kita jumpai masuknya nilai-nilai dan ajaran Islam. Contohnya dalam syair-syair dan selawet acara adat senantiasa dimulai dengan Bismillah, Salam dan diakhiri dengan Alhamdulillah.

Islam adalah agama yang cinta damai dan menghargai harkat dan martabat manusia, tidak memandang suku bangsa dalam menilai seseorang, hanya ketaqwaanlah yang menjadi barometer mulianya seseorang di sisi Allah SWT. Islam juga telah mengatur secara lengkap tata hubungan dalam kehidupan social mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi.

Kelihatannya, tidak ada persoalan mu’amalah (hubungan dengan makhluk)) dalam ajaran Islam. Namun apabila dikaitkan dengan hasil penelitian Adorno (sebagaimana telah dikemukakan di atas) ternyata tipe kepribadian otoriter juga ditemukan dalam masyarakat yang menganut syari’at Islam. Hal ini disebabkan antara lain karena syari’at Islam yang dianut sebagai ajaran Islam yang belum sepenuhnya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semboyan dan cita-cita leluhur kita “adat ngeun hukon lage zat ngeun sifet” kelihatannya hanya tinggal kenangan dan bacaan dalam sejarah saja. Syariat Islam sebagai acuan dalam berkehidupan di NAD terkendala oleh berbagai kepentingan sejak orde lama, orde baru dan reformasi.

Melalui penerapan Syariat Islam di NAD selanjutnya disahkannya UUPA No. 11 Tahun 2006 tersebut memberi peluang kepada ummat Islam NAD untuk menata diri untuk menjadi uswah hasanah bagi seluruh bangsa di dunia ini, bahwa Islam dan umatnya dapat dan mampu menjadi rahmatan lil ‘alamiin.

E. Sikap Tasamuh dan Cinta Damai

Dalam ajaran agama Islam, ke-aku-an dan keotoriteran ini sangat dekat dengan sifat-sifat yang berkenaan dengan nafsu amarah (Q.S. Yusuf ayat: 12), yaitu nafsu yang selalu mendorong kepada kekejian. Sedangkan untuk pertumbuhan nilai-nilai moral social yang sejalan dengan agama baru dapat berkembang apabila potensi aqal & qalbun diasah sedemikian rupa lewat proses belajar mengajar yang mendukung ke arah perubahan. Apabila proses belajar awal dari hasil interaksi dengan keluarga & lingkungannya yang otoriter sangat kuat melekat di dalam qalbu-nya, sehingga pola otoriter itu relatif sudah mengakar, maka diperlukan usaha yang intensif untuk menetralisirnya.

Usaha yang intensif ini dapat dilakukan sejak mulai dari pendidikan di rumah tangga (keluarga), orang-orang kunci (guru, tokoh masyarakat dll) sampai kepada budaya masyarakat yang luas. Para ilmuan muslim beberapa decade ini sedang hangat-hangat mendikusi dan membuat pola dan konsep hidup di alam perbedaan yang global ini dengan konsep al tasamuh.

Al-Tasaamuh berasal dari kata samaha-yasmahu-simaahan, yang bermakna murah hati, tidak mencari kesalahan, baik, tidak sulit (mudah urusan) dan lain-lain. Secara istilah al-tasaamuh dapat difahami sebagai sikap saling toleransi kepada orang-orang yang berbeda pandangan, baik kepada sesama ummat Islam maupun non Islam (Zein, 2005). Pengertian dari konsep dan sikap tasamuh ini dapat kita pahami secara sederhana sebagai kemampuan melihat perbedaan, menahan diri untuk bersikap tergesa-gesa atas sesuatu yang kurang/tidak sesuai dengan kita, melihat unsure positif dari perbedaan, serta menghargai perbedaan tersebut sebagai suatu khazanah hidup yang telah diberikan oleh Allah SWT. Rasulullah SAW telah mengatakan bahwa “perbedaaan di kalangan ummatku adalah rahmat” (Al Hadits).

Dalam kajian Psikologi, orang yang mampu melihat perbedaan, menahan diri, serta bersikap dengan penuh pertimbangan ini disebut dengan orang yang sehat mental. Para ahli Psikologi juga berbeda-beda dalam memberi nama terhadap kesehatan mental ini. Ada yang membuat nama lain dengan “Kepribadian yang Produktif”, Kepribadian yang Matang”, Kepribadian yang Sehat” Pribadi yang Mengaktualisasikan Diri” dan lain-lain sebagainya. Umumnya, tanda-tanda dari semua pribadi yang sehat tersebut adalah mempunyai kepribadian yang utuh (antara fikir, perasaan & perbuatan), mampu menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungan secara sehat.

Erich Fromm misalnya menyatakan bahwa hubungan manusia dengan manusia lain itu secara garis besar ada tiga cara, yaitu:
Hubungan atas dasar superioritas. Yaitu hubungan yang dibina dengan orang lain atas dasar suatu keunggulan dan keuatan yang dimiliki. Sikap yang ditampilkan selalu mengarahkan, mengatur dan memerintah. Orang lain senantiasa berada di bawah kekuasaan kita, dengan suatu pandangan bahwa orang lain itu butuh dan dibuat untuk butuh dan tergantung kepada kita. Hubungan atas dasar superioritas ini akan mengakibatkan individunya akan mengalami suatu perasaan keterasingan, karena hubungan dengan orang lain itu selalu terasa ada jarak.

Hubungan atas dasar Inferioritas. Yaitu hubungan yang dibina dengan orang lain atas dasar merendahkan diri, memohon belas kasihan & kasih sayang dari orang lain. Sikap yang ditampilkan selalu, patuh, penurut, taat dan tanpa kritikan. Hidupnya selalu di bawah bayang-bayang orang lain. Ketundukan dan kepatuhan yang berlebihan ini berdasarkan suatu keterpaksaan yang pada dasarnya hati nuraninya juga tidak menginginkan (kepatuhan yang terselubung). Namun, dalam keseharian dan lahiriah tetap memperlihat kepatuhan, ketaatan serta loyalitas yang tinggi.

Hubungan atas dasar cinta. Erich Fromm menyatakan bahwa yang dimaksud dengan cinya di sini adalah cinta dalam artian yang luas, bukan dalam artian erotik dan nafsu birahi. Jika suatu hubungan dijalin atas dasar kecintaan kepada individunya, maka kita akan menghargai martabat dan kemaunisaannya secara penuh dan utuh. Tetap memberikan keleluasaan kepada orang lain untuk mengekspresikan keinginan sesuai hak dan norma yang berlaku, karena kita mencintainya.

Menurut Fromm, dua dari hubungan yang pertama (superior dan Inferior) adalah model hubungan yang tidak sehat dan akan melahirkan individu-individu yang tidak sehat pula. Hubungan yang sehat adalah atas dasar cinta, tidak memaksa dan tidak pula terpaksa. Apabila berada pada posisi yang mempunyai otoritas (orangtua atau pemimpin), maka perintahnya bercorak arahan yang tidak kaku, yaitu selalu dapat diberi masukan, alternatif (pilihan lain) dan tidak akan pernah memaksakan kehendak. Begitu pula apabila berada pada posisi bawah, tidak merasa terpaksa. Ketundukan dan kepatuhan itu atas dasar pertimbangan yang matang yang disertai dengan pengetahuan.